Selasa, 31 Mei 2011

Adil

Kata adil mudah diucapkan, tetapi sulit dijelaskan, apalagi dijabarkan dalam tindakan. Pancasila juga menyebut "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" sebagai salah satu landasan hidup bangsa. Bagaimana mewujudkannya? Sulit! 

Lebih dari 60 tahun kita merdeka, tetapi rakyat belum merasakan keadilan sosial, meski tiap Presiden bersumpah akan melaksanakan UUD 1945 yang di dalamnya termuat penjabaran Pancasila. 

Kini hampir tiap hari kita mendengar kata adil dan bentukannya, seperti keadilan dan pengadilan, dibicarakan, tetapi jarang dijumpai penjelasannya. Sulastomo menulis (Kompas, 15/5), pada tahun 1966 mahasiswa meminta agar Bung Karno diadili, Bung Karno sendiri juga meminta agar diadili. Namun, Soeharto tidak mau membawa Bung Karno ke pengadilan. Mahasiswa menuntut agar Bung Karno diadili dengan dua motivasi: agar jelas apakah benar Bung Karno berperan dalam G30S atau agar dihukum karena telah membawa Indonesia ke kehancuran ekonomi dan makin dekat ke komunis. 

Bung Karno sendiri minta diadili. Mungkin agar bisa mengungkapkan bahwa beliau tidak bersalah dan agar jelas bagi rakyat apa yang sebenarnya terjadi. Pak Harto tidak bersedia mengadili Bung Karno dengan motivasi: segan karena prinsip mikul dhuwur mendhem jero, atau tidak mau membiarkan Bung Karno membakar rakyat sehingga sikap rakyat berbalik mendukung beliau, atau mungkin menghindari terungkapnya peristiwa yang terjadi. Semua bertitik pangkal pada kata "adil", tetapi dengan kepentingan berbeda-beda. 

Dengan kata lain, "adil" erat kaitannya dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Seseorang akan merasa diperlakukan adil jika kepentingan pribadinya terpenuhi. Orientasi adil yang "individualistik" ini menekankan adil sebagai hak tiap orang: hak untuk mendapat perlakuan yang adil (fair treatment). Tersirat dalam tulisan Sulastomo itu, jika Nixon tidak diadili, Bung Karno juga tidak diadili, maka agar adil Pak Harto pun jangan diadili. 

Namun, tidak semua orang berpendapat seperti itu, meski sama-sama berdalih demi keadilan. Mereka yang menuntut Soeharto diadili berpendapat, jika pemerintah membebaskan Soeharto dari proses hukum, berarti pemerintah bersikap tidak adil kepada rakyat yang telah dirugikan atau dilanggar hak asasinya. Para pendukung Bung Karno pun akan berpendapat, meski tidak diadili, kenyataannya Bung Karno telah dihukum Soeharto. Maka tidak adil jika Soeharto dibebaskan dari tuntutan hukum.

Perdebatan panjang
Adil, menurut Aristoteles adalah jika tiap orang mendapat apa yang seharusnya diperoleh. Adil adalah to give each man his due. Lalu ia menambahkan, if the persons are not equal, their (just) shares will not be equal.
Masalahnya, bagaimana mengukur due (apa yang seharusnya didapat) seseorang dan bagaimana menetapkan kriteria equal antara yang satu dan lainnya. Adilkah menjatuhkan hukuman satu tahun bagi seorang maling kecil yang terpaksa mencuri untuk mempertahankan hidup dibandingkan dengan hukuman tiga tahun untuk koruptor Rp 100 miliar hanya karena rakus? 

Perdebatan tentang hal ini dapat panjang, hanya karena antara keduanya tidak equal dalam banyak aspek. Senapas dengan konsep itu, adilkah menjatuhkan hukuman yang sama bagi orang yang dituduh melakukan kejahatan politik dengan orang yang dituduh korupsi, misalnya?
Di banyak negara, termasuk Indonesia, kejahatan politik sering tidak diajukan ke pengadilan, kecuali jika kejahatan itu melanggar hukum pidana yang berlaku. Namun, kejahatan korupsi, di mana pun juga, dilakukan siapa pun juga, dari awal sudah melanggar hukum pidana. Masalah timbul saat pertimbangan politik, kepentingan pribadi, golongan, dan ewuh pakewuh—meski disamar dengan kata-kata lain—mewarnai pengambilan keputusan. 

Di sini kita melihat, adil juga terkait dengan tanggung jawab moral seorang pemimpin. Adakah ia seorang yang mempunyai persepsi bahwa adil juga berorientasi pada kepentingan orang lain dan bukan hanya kepada kepentingan pribadi atau golongannya? 

Aaron T Beck dari University of Pennsylvania menyebutnya the caring orientation, yang intinya kewajiban moral untuk peka terhadap kepentingan orang banyak, rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan mereka, dan kesediaan mengorbankan kepentingan pribadi jika itu berbeda dengan kepentingan rakyat.
Menjadi pemimpin yang adil ternyata tidak mudah. 

Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)

Cheers, And keep on dreaming!

Tidak ada komentar: