Kata adil mudah diucapkan, tetapi sulit dijelaskan, apalagi
dijabarkan dalam tindakan. Pancasila juga menyebut "keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia "
sebagai salah satu landasan hidup bangsa. Bagaimana mewujudkannya? Sulit!
Lebih dari 60 tahun kita merdeka, tetapi rakyat belum merasakan
keadilan sosial, meski tiap Presiden bersumpah akan melaksanakan UUD 1945 yang
di dalamnya termuat penjabaran Pancasila.
Kini hampir tiap hari kita mendengar kata adil dan bentukannya, seperti
keadilan dan pengadilan, dibicarakan, tetapi jarang dijumpai penjelasannya.
Sulastomo menulis (Kompas, 15/5), pada tahun 1966 mahasiswa meminta agar Bung
Karno diadili, Bung Karno sendiri juga meminta agar diadili. Namun, Soeharto
tidak mau membawa Bung Karno ke pengadilan. Mahasiswa menuntut agar Bung Karno
diadili dengan dua motivasi: agar jelas apakah benar Bung Karno berperan dalam
G30S atau agar dihukum karena telah membawa Indonesia ke kehancuran ekonomi dan
makin dekat ke komunis.
Bung Karno sendiri minta diadili. Mungkin
agar bisa mengungkapkan bahwa beliau tidak bersalah dan agar jelas bagi rakyat
apa yang sebenarnya terjadi. Pak Harto tidak bersedia mengadili Bung Karno
dengan motivasi: segan karena prinsip mikul dhuwur mendhem jero, atau tidak mau
membiarkan Bung Karno membakar rakyat sehingga sikap rakyat berbalik mendukung
beliau, atau mungkin menghindari terungkapnya peristiwa yang terjadi. Semua bertitik pangkal pada kata "adil", tetapi dengan
kepentingan berbeda-beda.
Dengan kata lain, "adil" erat
kaitannya dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Seseorang akan merasa
diperlakukan adil jika kepentingan pribadinya terpenuhi. Orientasi adil yang
"individualistik" ini menekankan adil sebagai hak tiap orang: hak
untuk mendapat perlakuan yang adil (fair treatment). Tersirat dalam tulisan
Sulastomo itu, jika Nixon tidak diadili, Bung Karno juga tidak diadili, maka
agar adil Pak Harto pun jangan diadili.
Namun, tidak semua orang berpendapat seperti
itu, meski sama-sama berdalih demi keadilan. Mereka yang menuntut Soeharto
diadili berpendapat, jika pemerintah membebaskan Soeharto dari proses hukum,
berarti pemerintah bersikap tidak adil kepada rakyat yang telah dirugikan atau
dilanggar hak asasinya. Para pendukung Bung Karno pun akan berpendapat, meski
tidak diadili, kenyataannya Bung Karno telah dihukum Soeharto. Maka tidak adil jika
Soeharto dibebaskan dari tuntutan hukum.
Perdebatan panjang
Adil, menurut Aristoteles adalah jika tiap orang mendapat apa yang
seharusnya diperoleh. Adil adalah to give each man his due. Lalu ia
menambahkan, if the persons are not equal, their (just) shares will not be
equal.
Masalahnya, bagaimana mengukur due (apa yang seharusnya didapat)
seseorang dan bagaimana menetapkan kriteria equal antara yang satu dan lainnya.
Adilkah menjatuhkan hukuman satu tahun bagi seorang maling kecil yang terpaksa
mencuri untuk mempertahankan hidup dibandingkan dengan hukuman tiga tahun untuk
koruptor Rp 100 miliar hanya karena rakus?
Perdebatan tentang hal ini dapat panjang, hanya
karena antara keduanya tidak equal dalam banyak aspek. Senapas dengan konsep
itu, adilkah menjatuhkan hukuman yang sama bagi orang yang dituduh melakukan
kejahatan politik dengan orang yang dituduh korupsi, misalnya?
Di banyak negara, termasuk Indonesia,
kejahatan politik sering tidak diajukan ke pengadilan, kecuali jika kejahatan
itu melanggar hukum pidana yang berlaku. Namun, kejahatan korupsi, di mana pun
juga, dilakukan siapa pun juga, dari awal sudah melanggar hukum pidana. Masalah
timbul saat pertimbangan politik, kepentingan pribadi, golongan, dan ewuh
pakewuh—meski disamar dengan kata-kata lain—mewarnai pengambilan keputusan.
Di sini kita melihat, adil juga terkait
dengan tanggung jawab moral seorang pemimpin. Adakah ia seorang yang mempunyai
persepsi bahwa adil juga berorientasi pada kepentingan orang lain dan bukan
hanya kepada kepentingan pribadi atau golongannya?
Aaron T Beck dari University of Pennsylvania menyebutnya the
caring orientation, yang intinya kewajiban moral untuk peka terhadap kepentingan
orang banyak, rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan mereka, dan kesediaan
mengorbankan kepentingan pribadi jika itu berbeda dengan kepentingan rakyat.
Menjadi pemimpin yang adil ternyata tidak mudah.
Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)
Cheers,
And keep on dreaming!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar