Kamis, 09 Juni 2011

Arms of Leadership

Lee  Kuan Yew,  senior minister  Singapura, mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri Singapura pada 1990 dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Goh Chok Tong. Di bawah  asuhannya,  Singapura  berkembang dari sebuah pulau kecil  yang  miskin sumber  daya sampai menjadi negara yang makmur  seperti  sekarang ini.

Kebetulan saat itu saya berada di Singapura dan sempat berbincang-bincang  mengenai  gaya  kepemimpinan Lee  Kuan  Yew  dengan Profesor  Charles Schell dari Manchester Business School.  Beliau menyebutkan  bahwa  kunci keberhasilan Lee  adalah  kepiawaiannya dalam mengelola  Arms of Leadership .
Arms of Leadership  adalah "kepanjangan tangan"--segala sesuatu yang  memungkinkan  seorang pemimpin secara  efektif  menjalankan sebuah  organisasi.  Tidak peduli sebagus  apa  pun  pemimpinnya, tanpa adanya " arms " atau "lengan" kepemimpinan, organisasi tersebut tidak akan dapat berkembang dengan semestinya.
Charles Schell menyebutkan dua alternatif lengan kepemimpinan.  Tipe  I , yaitu melalui penciptaan pemimpin-pemimpin baru  ( leader creates  leaders ) yang mempunyai visi dan kemampuan  menyamai  si pemimpin  puncak; atau  Tipe II , menciptakan sistem  dan  prosedur yang  dikontrol  dengan ketat dan dikompensasi melalui   reward  & punishment  yang konsisten. Sebuah organisasi yang efektif  biasa nya memiliki salah satu atau keduanya.
Sang profesor yang juga  seorang konsultan transformasi  perusahaan  yang  pernah terlibat dalam urusan  pengembangan  negara-negara dunia ketiga itu menyebutkan adanya perbedaan yang  mendasar dalam gaya pengelolaan  Arms of Leadership  Lee Kuan Yew dengan mantan  Presiden Soeharto, walaupun mereka sama-sama keras  dalam sikap politiknya.


Kalau kita lihat, sebenarnya banyak kesamaan strategi  politik antara  kedua mantan pemimpin negara tersebut.  Seperti  layaknya Indonesia pada waktu itu, keberadaan partai oposisi di  Singapura juga  relatif lemah. Walaupun orang mulai  berani  mempertanyakan kebijakan  pemerintah  secara terbuka, tetapi tetap  saja  mereka tidak dapat berbuat banyak. Lee Kuan Yew sendiri pernah  menuntut lawan  politiknya sampai bangkrut karena berani menyebut  dirinya sebagai orang yang korup dan tidak jujur.

 



Lain  halnya dengan Indonesia. Walaupun banyak kesamaan  dalam situasi  politik, tetapi berbeda jauh dalam  law  enforcement   dan etos kerja. Selain korupsi yang merajalela, Anda juga malah  akan tidak mendapatkan apa-apa kalau mengikuti prosedur atau birokrasi yang berlaku! 

Hal  yang sama berlaku dalam mengelola perusahaan.  Visi  dari seorang  pemimpin yang pintar tidak akan  terlaksana  berdasarkan imbauan  atau arahan semata. Si pemimpin juga harus  cakap  dalam membentangkan lengan kepemimpinannya. 

Di  sebuah  organisasi (perusahaan maupun negara)  yang  tidak memiliki   new  leaders  yang cukup cakap atau  situasi  masyarakat yang  cenderung statis (seperti negara-negara Asia),  akan  lebih manjur  jika menggunakan pendekatan yang lebih otoritatif  dengan sistem dan prosedur yang terukur. Ada situasi di mana fleksibilitas  yang berlebihan malah akan membawa inefisiensi, minat  kerja yang rendah, dan bahkan penyalahgunaan wewenang.
Strategi  yang  sama juga layak diterapkan di tempat  di  mana terdapat  kesenjangan   skill   antara   followers   dan    leader -nya (seperti Indonesia). Bukankah sulit bagi Anda untuk  mengharapkan mereka  yang  pendidikannya terbatas  untuk  mengambil  keputusan secara benar? 

Dengan strategi penerapan yang benar, sebuah organisasi bahkan akan  dapat berjalan dengan efektif meskipun mungkin tidak  semua orang  simpati  kepada  kebijakan Anda maupun  diri  Anda  secara pribadi.  Misalnya, di Singapura banyak juga orang  yang  jengkel terhadap pemerintah. Mereka menyinggung tentang gaji para anggota parlemen yang sedemikian tingginya (paling tinggi di dunia) serta dominasi  keluarga  Lee di berbagai perusahaan  besar  di  negara tersebut. Lee Kuan Yew sendiri sering dianggap tidak bakal  turun kalau putranya Lee Hsien Loong, yang kini menjabat sebagai deputi PM, belum naik tahta.

Untuk  menangani semua itu, Lee Kuan Yew memberikan   reward  & punishment  yang ditata dengan cerdik. Kalau Anda membuang  sampah sembarangan,  hukuman  yang berat sudah  menanti,  apalagi  kalau sampai berani mengedarkan narkotik. Namun, di sisi lain,  fasilitas umum yang luar biasa dan taraf kehidupan yang tinggi  merupakan  reward  bagi mereka yang mau sejalan dengan pemerintahannya.
Sebagai  manajer,  adakalanya Anda perlu menciptakan   "love  & hate" relationship dengan anak buah Anda, bukan?

Oleh: Alexander S. Mulya

Penulis adalah  Senior Business Analyst  MarkPlus & Co.


Cheers, And keep on dreaming!

Tidak ada komentar: