Lee Kuan Yew, senior minister Singapura, mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri Singapura pada 1990 dan
menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Goh Chok Tong. Di bawah
asuhannya, Singapura berkembang dari sebuah pulau kecil
yang miskin sumber daya sampai menjadi negara yang makmur
seperti sekarang ini.
Kebetulan saat itu saya berada di Singapura dan sempat berbincang-bincang
mengenai gaya kepemimpinan Lee Kuan Yew dengan
Profesor Charles Schell dari Manchester Business School. Beliau
menyebutkan bahwa kunci keberhasilan Lee adalah
kepiawaiannya dalam mengelola Arms of Leadership .
Arms of Leadership adalah "kepanjangan tangan"--segala
sesuatu yang memungkinkan seorang pemimpin secara
efektif menjalankan sebuah organisasi. Tidak peduli
sebagus apa pun pemimpinnya, tanpa adanya " arms "
atau "lengan" kepemimpinan, organisasi tersebut tidak akan dapat berkembang
dengan semestinya.
Charles Schell menyebutkan dua alternatif lengan kepemimpinan.
Tipe I , yaitu melalui penciptaan pemimpin-pemimpin baru ( leader
creates leaders ) yang mempunyai visi dan kemampuan menyamai
si pemimpin puncak; atau Tipe II , menciptakan sistem
dan prosedur yang dikontrol dengan ketat dan dikompensasi
melalui reward & punishment yang konsisten. Sebuah
organisasi yang efektif biasa nya memiliki salah satu atau keduanya.
Sang profesor yang juga seorang konsultan transformasi
perusahaan yang pernah terlibat dalam urusan
pengembangan negara-negara dunia ketiga itu menyebutkan adanya perbedaan
yang mendasar dalam gaya pengelolaan Arms of Leadership Lee
Kuan Yew dengan mantan Presiden Soeharto, walaupun mereka sama-sama
keras dalam sikap politiknya.
Kalau kita lihat, sebenarnya banyak kesamaan strategi politik
antara kedua mantan pemimpin negara tersebut. Seperti
layaknya Indonesia pada waktu itu, keberadaan partai oposisi di Singapura
juga relatif lemah. Walaupun orang mulai berani
mempertanyakan kebijakan pemerintah secara terbuka, tetapi
tetap saja mereka tidak dapat berbuat banyak. Lee Kuan Yew sendiri
pernah menuntut lawan politiknya sampai bangkrut karena berani
menyebut dirinya sebagai orang yang korup dan tidak jujur.
Lain halnya dengan Indonesia. Walaupun banyak kesamaan dalam
situasi politik, tetapi berbeda jauh dalam law
enforcement dan etos kerja. Selain korupsi yang merajalela, Anda
juga malah akan tidak mendapatkan apa-apa kalau mengikuti prosedur atau
birokrasi yang berlaku!
Hal yang sama berlaku dalam mengelola perusahaan. Visi
dari seorang pemimpin yang pintar tidak akan terlaksana
berdasarkan imbauan atau arahan semata. Si pemimpin juga harus
cakap dalam membentangkan lengan kepemimpinannya.
Di sebuah organisasi (perusahaan maupun negara)
yang tidak memiliki new leaders yang cukup cakap
atau situasi masyarakat yang cenderung statis (seperti
negara-negara Asia), akan lebih manjur jika menggunakan
pendekatan yang lebih otoritatif dengan sistem dan prosedur yang terukur.
Ada situasi di mana fleksibilitas yang berlebihan malah akan membawa
inefisiensi, minat kerja yang rendah, dan bahkan penyalahgunaan wewenang.
Strategi yang sama juga layak diterapkan di tempat
di mana terdapat kesenjangan skill
antara followers dan leader -nya
(seperti Indonesia). Bukankah sulit bagi Anda untuk mengharapkan
mereka yang pendidikannya terbatas untuk
mengambil keputusan secara benar?
Dengan strategi penerapan yang benar, sebuah organisasi bahkan
akan dapat berjalan dengan efektif meskipun mungkin tidak semua
orang simpati kepada kebijakan Anda maupun diri
Anda secara pribadi. Misalnya, di Singapura banyak juga orang
yang jengkel terhadap pemerintah. Mereka menyinggung tentang gaji para
anggota parlemen yang sedemikian tingginya (paling tinggi di dunia) serta
dominasi keluarga Lee di berbagai perusahaan besar
di negara tersebut. Lee Kuan Yew sendiri sering dianggap tidak
bakal turun kalau putranya Lee Hsien Loong, yang kini menjabat sebagai
deputi PM, belum naik tahta.
Untuk menangani semua itu, Lee Kuan Yew memberikan
reward & punishment yang ditata dengan cerdik. Kalau Anda
membuang sampah sembarangan, hukuman yang berat sudah
menanti, apalagi kalau sampai berani mengedarkan narkotik. Namun,
di sisi lain, fasilitas umum yang luar biasa dan taraf kehidupan yang
tinggi merupakan reward bagi mereka yang mau sejalan dengan
pemerintahannya.
Sebagai manajer, adakalanya Anda perlu
menciptakan "love & hate" relationship dengan
anak buah Anda, bukan?
Penulis adalah Senior Business Analyst MarkPlus & Co.
Cheers,
And keep on dreaming!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar