Selasa, 03 Mei 2011

Empat "G" Marketting

Empat "G" Marketting bukanlah buzzword baru dalam dunia pemasaran yang marak belakangan ini, seperti "experiential marketing", "community marketing", "permission marketing", "e-marketing", dan sejenisnya. 4-G Marketing adalah judul buku yang saya tulis (bersama Hermawan Kartajaya dan Sumardy) mengenai perjuangan HM Sampoerna untuk survive dan sukses mengarungi perubahan lingkungan bisnis selama lebih dari 90 tahun. Mengapa 4-G? Sebab, rentang waktu 90-an tahun itu terbagi ke dalam 4 penggal generasi (4 generation): Liem Seeng Tee, Aga Sampoerna, Putera Sampoerna, dan terakhir, Michael Sampoerna.
Ada temuan menarik dari riset selama setahun yang saya lakukan untuk penulisan buku ini. Sejak diminta meriset, kami mengumpulkan dan menelusuri begitu banyak data, baik melalui wawancara dengan manajer dan eksekutif HM Sampoerna, maupun data tertulis tentang perusahaan. Tujuan kami hanya satu, yaitu mencari jawaban mengapa HM Sampoerna bisa bertahan dan terus menjaga momentum kesuksesannya dalam kurun waktu yang panjang.

Hasilnya, kami menemukan tiga core winning characteristics yang menjadi penentu sukses HM Sampoerna. Pertama, kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnis. Kedua, inovasi dalam model bisnis, proses, teknologi, produk, dan sebagainya. Dan yang terakhir, saya kira merupakan yang terpenting, adalah budaya perusahaan yang kokoh dalam bentuk nilai-nilai luhur dan perilaku yang dipercayai oleh semua orang dalam organisasi. Dalam kaitan pembentukan budaya korporat ini, kami melihat fenomena unik, yakni peran leadership para CEO-nya dari generasi ke generasi yang sangat dominan.

Adaptive Organization
Kemampuan HM Sampoerna beradaptasi sudah dibuktikan perusahaan ini dari generasi ke generasi. Selama empat era kepemimpinan, perusahaan ini menghadapi beragam gelombang perubahan lingkungan bisnis, tetapi mereka mampu mengatasinya. Menarik sekali komentar Putera Sampoerna mengenai hal ini, "Understand the environment, what you can do with it, and if you can't do something with the environment, change it!" ujarnya.
Di era kepemimpinan Liem Seeng Tee, HM Sampoerna pernah mencapai titik kinerja terendah--praktis bangkrut--saat Jepang menduduki negeri ini pada awal 1940-an. Semasa perang, pabrik HM Sampoerna di Surabaya diduduki oleh Jepang dan digunakan untuk memproduksi rokok bagi para tentara mereka di Jawa dan Indonesia Timur. Seusai perang, pabrik itu ditinggalkan begitu saja oleh Jepang dalam keadaan porak-poranda.

Akibat perang, praktis semua kekayaan Sampoerna habis, kecuali satu, yaitu si legenda Dji Sam Soe. Pabrik boleh hancur, kekayaan habis dirampas, tetapi Dji Sam Soe tetap merupakan aset yang tak ternilai. Ekuitas merek Dji Sam Soe yang sangat tinggi, baik di kalangan konsumen maupun pedagang rokok, menjadi faktor utama yang memungkinkan Seeng Tee melakukan turnaround dan membangun kembali HM Sampoerna dari puing-puing keruntuhan.

Begitu juga ketika kendali perusahaan dipegang Putera Sampoerna di era 1980-1990-an. Perubahan lanskap bisnis yang berjalan sangat cepat pada waktu ini diantisipasi dengan baik oleh Putera dengan melakukan transformasi yang tak kenal lelah--termasif dan tercepat dalam sejarah perusahaan. Langkah ini memungkinkan HM Sampoerna memasuki "hypergrowth era" selama 1990-an.
Langkah-langkah strategis Putera, antara lain, membenahi sistem pembelian tembakau ke petani; membangun sistem distribusi langsung; membangun kapabilitas dan kompetensi inti di bidang pembuatan sigaret; dan membangun fasilitas manufaktur berkelas dunia di Rungkut dan Pandaan. Putera juga memetamorfosa HM Sampoerna dari "manufacturing-driven company" menjadi "market-driven company", yang ditandai dengan munculnya rokok low tar low nicotine (LTLN) pertama: A Mild. Dan yang tak kalah penting adalah rintisan Putera menjadikan HM Sampoerna sebagai perusahaan multinasional dengan melakukan ekspansi ke luar negeri.

Culture Does Matter!
Berkaitan dengan budaya perusahaan sebagai sumber kesuksesan jangka panjang HM Sampoerna, ada sebuah fenomena menarik. Walau secara formal penyusunan buku  Kredo Sampoerna Anggarda Paramita baru dirumuskan pada awal 1992 dan perintisan The Sampoerna Way baru tahun 2002, sesungguhnya budaya korporat HM Sampoerna sudah dijalankan sejak lama, bahkan sejak dasar-dasar budaya tersebut diletakkan dan dibangun Liem Seeng Tee, sang pendiri.
Nilai-nilai dasar "Menuju Kesempurnaan" (Anggarda Paramita) dan prinsip "Kami Memang Beda" merupakan satu nilai yang secara sadar atau tidak, tertulis maupun tak tertulis, merupakan basic philosophy yang dijalankan dalam setiap kebijakan dan langkah erusahaan. "Di Sampoerna, upaya mencari KESEMPURNAAN sudah menjadi gaya hidup kami; suatu usaha keras, yang secara integral terjalin dalam semua aspek Kelompok Perusahaan Sampoerna," demikian bunyi salah satu kutipan di Kredo Sampoerna Anggarda Paramita.

Nilai-nilai itu terbukti menjadi tulang punggung keunggulan perusahaan. Bahkan kami berani simpulkan bahwa nilai-nilai itulah yang menjadi penentu mengapa HM Sampoerna mampu secara konsisten mencapai kesuksesan selama berpuluh tahun.

Culture does matter! 
Kami melihat bahwa faktor budaya yang kokoh inilah yang membedakan HM Sampoerna dari perusahaan lain. Budaya ini akhirnya yang berperan secara jangka panjang untuk membedakan kinerja sebuah perusahaan dengan pesaingnya. Budaya menjadi tatanan hidup masing-masing perusahaan yang tak mungkin dan tidak layak untuk ditiru oleh siapa pun. Menurut kami, tesis banyak pakar manajemen bahwa budaya perusahaan merupakan key point of differentiation dari sebuah organisasi betul-betul terjadi di HM Sampoerna.
"Out of The Box"
Faktor terakhir adalah inovasi. Sepak terjang perusahaan ini dari generasi ke generasi selalu diwarnai dengan upaya terus-menerus berinovasi. Inovasi ini ditanamkan "dari dalam" melalui prinsip "Kami Memang Beda". HM Sampoerna berani menyatakan "Kami Memang Beda" karena jiwa setiap karyawan memang dibangun di atas landasan kreativitas dan inovasi. "Kami Memang Beda is like a religion, basic philosophy that can not be compromised," kata Putera.

"Kami Memang Beda" ini diterapkan dengan menantang setiap karyawan untuk selalu berpikir "out of the box", berpikir beda dengan didukung alasan yang kuat. Pola pikir inilah yang membuat HM Sampoerna seperti tak pernah kehabisan ide kreatif dan inovatif yang sukses dieksekusi di lapangan.
Dari waktu ke waktu, inovasi menjadi senjata HM Sampoerna dalam menghadapi persaingan industri rokok yang demikian ketat. "If we can not compete with someone who already establish, we have to be unique and different," kata Putera. Dengan inovasi yang terus-menerus, HM Sampoerna berhasil menjadi thought leader industri rokok.

Contoh inovasi HM Sampoerna yang kini melegenda dalam dunia pemasaran di Tanah Air adalah peluncuran A Mild. Adanya persaingan yang kian ketat di pasar kretek bernikotin tinggi dan tren global ke arah konsumsi rokok rendah tar dan nikotin, mendorong HM Sampoerna untuk menciptakan kategori baru rokok LTLN pada 1989--sebuah terobosan yang sama sekali tak terpikirkan oleh para pesaingnya.
Keputusan Philip Morris untuk menguasai saham HM Sampoerna beberapa waktu lalu merupakan prestasi besar, tak hanya bagi perusahaan ini, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Bangsa yang dikenal hanya mampu mengekspor TKI ini ternyata mampu membangun sebuah perusahaan kelas dunia yang disegani tak hanya di tingkat nasional, tetapi juga dunia. Pembelian saham HM Sampoerna adalah bukti kepercayaan Philip Morris, sebuah institusi bisnis bergengsi di dunia, terhadap kinerja dan sustainability perusahaan ini. HM Sampoerna layak menerima ini semua, karena memang memiliki "something special".

Tidak ada komentar: