Selasa, 22 November 2011

Blink

Malcolm Gladwell, yang sukses lewat buku pertamanya, Tipping Point, tampaknya tetap gemar mencari hal-hal yang tersembunyi. Kali ini muncul buku berikutnya dengan judul yang lebih singkat: Blink. Kalau pada Tipping Point penekanannya adalah bagaimana kita memahami kembali dunia eksternal kita, maka dalam Blink, Gladwell justru mengajak kita memahami dunia internal kita. Tujuan pertama dari Blink, tulis Gladwell, adalah untuk meyakinkan bahwa keputusan yang dibuat secara cepat bisa sama baiknya dengan keputusan yang dibuat secara hati-hati dan menyeluruh.

Mungkin kita kenal para pebisnis atau entrepreneur yang bisa mengambil keputusan cepat, tanpa mendasarkan keputusannya pada analisis kuantitatif, atau meminta pertimbangan konsultan. Dalam percakapan sehari-hari kita menyebutnya: feeling-nya hebat. Kemudian ada berbagai diskusi dan seminar--juga tulisan--yang membahas bahwa feeling apakah warisan/anugerah, atau sesuatu yang bisa dipelajari. Dalam beberapa diskusi, sempat juga ada kesimpulan bahwa proses pengambilan keputusan berdasarkan feeling (yang berkonotasi tidak rasional dan/atau untung-untungan) sebenarnya merupakan proses berpikir rasional, hanya saja proses tersebut berlangsung secara cepat dan dilakukan oleh orang-orang yang terlatih.

"Our unconscious is a powerful force," kata Gladwell. Masalahnya, apakah insting tersebut sudah menunjukkan kebenaran? Sebab, pada saat yang bersamaan, sistem internal manusia juga menerima berbagai emosi, sentimen, dan ketertarikan-ketertarikan lainnya. Melalui pemahaman dan latihan tertentu, ternyata "kebenaran" feeling bisa ditemukan. Bahkan, lanjut Gladwell, keputusan berdasarkan feeling tersebut--untuk mudahnya sebut saja begitu--bisa dikendalikan.

Salah satu contoh ekstrem yang dikemukakan Gladwell tentang dahsyatnya blink adalah kegagalan para ilmuwan Museum J. Paul Getty, di California, untuk mengidentifikasi kouro--patung pemuda telanjang yang diperkirakan dibuat 530 sebelum Masehi (SM). Dengan berbagai metode ilmiah yang memakan waktu bertahun-tahun, para ahli Getty menyimpulkan patung tersebut asli, sehingga layak dibeli senilai US$10 juta. Ketika patung itu hendak dibayar, ada seorang ahli yang kebetulan melihat patung tersebut dan menyimpulkan--dalam dua detik pertama--bahwa itu bukan kouro

yang asli, tetapi dibuat di Roma, Italia, pada tahun 1980-an. Ujungnya dapat ditebak, Getty tidak jadi membeli patung tersebut, uang senilai US$10 juta diselamatkan dalam tempo dua detik, setelah hampir hilang akibat studi selama bertahun-tahun!

Contoh tentang keputusan cepat juga banyak didapat di dunia perang. Cepatnya berbagai perubahan dalam peperangan membuat keputusan yang diambil harus sangat cepat--dan cukup banyak mengorbankan pertimbangan "rasional"--dalam ukuran konservatif. Oleh karena itu, seorang jenderal--yang, menurut Napoleon, tidak tahu secara pasti, tak pernah melihat musuh secara jelas, dan tak pernah tahu tempatnya di mana--yang baik, harus memberi ruang pengambilan keputusan yang cukup bagi para letnannya di lapangan.

Di era banjir informasi seperti sekarang, tampaknya kecepatan mengambil keputusan sudah menjadi kunci. Dalam tataran yang sedikit berbeda, kita juga sering menyebutnya business wisdom. Para pengambil keputusan yang terlalu mendasarkan keputusannya pada pendekatan statistik harus lebih wise mendengarkan suara lapangan. Maklum, saya cukup sering melihat manajer lulusan sekolah bisnis terkemuka yang baru lulus sering memandang remeh laporan para wiraniaga atau orang-orang lapangan lainnya tentang strategi penjualan. Kemampuan Anda memadukan quantitative approach--yang masih banyak dipakai di sekolah bisnis sekarang--dengan kemampuan membaca kondisi riil di lapangan akan mengasah kemampuan blink Anda. Walaupun demikian, tentu saja, banyak hal lain yang masih harus dipelajari.

Tidak ada komentar: